Wednesday, November 13, 2013

1st Love

Seseorang yang akan aku ceritakan saat ini adalah seseorang yang selalu menganggapku sebagai "anak kecil".
Iya, ayahku.
Kita tidak begitu dekat, bahkan terkadang terkesan jauh.
Bapak memang lebih dekat dan terbuka kepada kakak dan abang-abangku. Ia lebih luwes bercerita tentang pekerjaan, pengalaman, bahkan tentang kondisi keluarga kepada mereka. Berbeda sekali ketika kita duduk berdua, aku lebih memilih untuk diam dan itu lebih nyaman. Mengangkat telepon darinya adalah hal yang paling aku hindari karena tak akan banyak topik untuk diperbincangkan. Ia akan buru-buru memintaku untuk memberikan telepon itu kepada Mom. Dalam sekali dua kali obrolan, yang akan muncul mungkin bukan cerita, tapi pertanyaan seperti apa kabar - gimana sekolahnya - dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sebenarnya aku ingin lebih dari itu. Kupikir mungkin karena dia merasa bahwa aku hanyalah putri kecilnya yang masih "anak-anak".

Sejak kecil, tepatnya ketika aku duduk di bangku SD, Bapak sudah lalu lalang bekerja jauh dari keluarga.  Ia pernah menjajaki Filipina, Vietnam dan Singapur untuk mencari nafkah. Untungnya Singapur hanya berseberangan dengan tempat dimana aku tinggal. Lebih jauh lagi, Ia pernah menyentuh tanah Afrika Selatan dan bekerja sekian lama disana, sedangkan baru-baru ini, Ia menyelesaikan pekerjaannya di Shanghai. Begitulah, sejak kecil aku sudah ditinggal oleh Bapak dan intensitas bertemu dengan beliau jarang. Terkadang aku merasa kalau dia tidak terlalu memperdulikanku dan aku adalah satu-satunya anaknya yang jarang Ia perhatikan. Hal itu karena sejak kecil kita sudah jauh, aku terbiasa tanpa sosoknya. Pernah pada malam ulangtahunku yang ke-9 Ia benar-benar lupa dan baru mengucapkan selamat ketika diingatkan Mom. Hal itu pernah membuat aku bersembunyi di kamar gudang dan menangis semalaman suntuk disana.

Itu ketika aku masih kecil.
Semakin kesini, banyak hal yang mulai aku sadari bahwa tidak sepenuhnya Bapak salah dengan pergi jauh karena Ia punya komitmen dan tujuan hidup. Dulu aku selalu ingin diperhatikan karena anak bungsu. Di sisi lain aku tidak pernah berpikir bahwa Ia mengalami hari-hari yang berat selama jauh dari keluarga. Bagaimana Ia makan, tidur, dan bekerja sendirian. Bagaimana perjalanan pulang-pergi yang selalu Ia lakukan sendiri. Bagaimana Ia bisa survive hidup di negara orang. Bagaimana Ia merindukan perbincangan dengan istrinya dan belaian sayang dari anak-anaknya. Bagaimana Ia sering merasa capek dengan pekerjaan dan bingung ingin berbagi lelah dengan siapa. Itu adalah sekian hal yang tidak pernah aku pikirkan, dulu. Aku hanya bisa marah dan merasa paling dikecewakan. Aku bahkan tidak sadar bahwa segala sesuatu yang Ia perjuangkan itu adalah demi anak-anaknya bisa bersekolah sampai ke perguruan tinggi seperti saat ini; agar keluarganya bisa hidup enak dan dipandang baik oleh orang.

Pemikiranku bahwa Bapak adalah orang yang paling tidak perhatian adalah salah. Sejak SMP aku selalu berkoar-koar bahwa aku ingin menjadi Fashion Designer. Bapak adalah orang pertama yang paling mendukung aku. Jika ada orang yang bertanya tentang cita-citaku, Ia akan dengan sangat bangga mengatakan bahwa aku ingin jadi Fashion Designer nantinya. Meski pada akhirnya ketika mencari universitas, cita-citaku kandas. Aku mulai ragu dengan keinginanku dulu. Aku ragu terhadap diriku sendiri karena aku merasa bahwa aku tidak cukup mampu di bidang tersebut. Aku ngga tau ingin jadi apa saat itu.

Tapi Tuhan kasih aku malaikat.

Banyak yang nanya, "Kamu kenapa ngambil jurusan ini, Len?"
Pada awalnya aku malu, karena ini bukan pilihanku sendiri. Bapak yang memilihkanku.
Iya, dia yang ingin aku jadi Jurnalis. Ia bilang, "Kamu harus belajar ngomong dan belajar pede, dek. Jangan pasif, disini nanti kamu jadi lebih pinter ngomong..", hanya itu alasan yang Ia lontarkan ketika memilihkanku jurusan ini. Aku terenyuh. Ia benar-benar mengerti apa yang aku butuhkan, bukan yang aku inginkan. Ia jadi malaikat penolong ketika aku mulai tidak mengenal diriku sendiri.

Bapak adalah orang yang tidak banyak bicara tetapi namun lebih sering tertawa, Ia adalah lelaki kecintaan Mom yang tidak pernah sekalipun mengeluh tentang pekerjaannya. Ia selalu memberi masukan kepada anak-anaknya tentang masa depan dan pilihan hidup. Ia adalah ayah yang kuat dan selalu mampu untuk bangkit ketika jatuh. Ia adalah sosok yang tidak pernah absen melakukan pelayanan di Gereja, dan aku yakin Tuhan juga sayang sama Bapak.

Aku tau,
Satu hal kenapa Ia bisa tumbuh setegar ini adalah karena kekuatan doa. Hanya itu yang bisa Ia andalkan ketika tidak dapat melihat dan memeluk dekat anaknya satu persatu karena jauh. Hanya itu yang bisa Ia andalkan ketika harus jatuh dari pekerjaannya dan kesusahan menghidupi keluarga. Hanya itu yang bisa Ia andalkan ketika Ia mulai merasa kelu dan mencari tempat untuk menopang.

Ketika menulis ini aku sedih, karena dari sekian banyak perjuangan dan kebanggaan yang Ia berikan untuk keluarga, belum satupun yang dapat kubalas. Aku meminta supaya Tuhan kasih Bapak dan Mom umur panjang dan kesehatan selalu karena aku ingin mereka terus berdiri di sampingku sampai pada waktunya aku sudah bisa membanggakan dan membahagiakan mereka.


Miss you, Dad.




HM

No comments:

Post a Comment