Thursday, February 26, 2015

Jadi Apa yang Kamu Mau?

Bulan ini, bagi anak-anak semester akhir di kampusku, merupakan bulan yang cukup lengaaang dari hiruk-pikuk aktivitas perkuliahan. Karena.........libur sebulan!
Iya.
Sebulan.
Berasa kembali ke masa caturwulan yaa.

Beda banget sama teman-teman kampus lain yang lagi rame ngeposting foto-foto dengan seragam toga mereka, aku dan teman-temanku malah baru akan memulai pertempuran tugas akhir dan skripsi, minggu depan. Dan rencananya, aku harus bisa menyelesaikan dua PR di atas hanya dalam kurun waktu 5-6 bulan, Agustus tepatnya. Di samping Mom yang udah menargetkan aku harus lulus tepat 4 tahun, di bulan yang sama biasanya beberapa media televisi nasional seringkali melakukan open recruitment untuk para fresh graduate. Aku ngga akan (mungkin kan?) ngelewatin hal itu.

Tapi,

Ada sejumlah hal yang cukup mengganggu pikiran akhir-akhir ini mengenai hal di atas,
Mengenai pekerjaan,
Mengenai karier, atau profesi di masa depan, tepatnya,
Mengenai aku akan jadi apa.

Minggu lalu, aku bertemu dengan salah satu dosen favoritku, Mas Wahyu. Awalnya, aku dan teman-teman hanya sekedar melakukan konsultasi mengenai topik dokumenter yang akan diangkat menjadi bahan riset tugas akhir. Obrolan lama kelamaan berkesinambungan ke pengalaman beliau mengenai beberapa liputan ekstrem sebagai camera person Trans TV, yang aku masukkan ke dalam kategori 'pelajaran penting'.

Berprofesi menjadi reporter, video journalist, atau campers, rasanya seperti mempertaruhkan kebahagiaan hidup. Apalagi jika harus mengadu nasib di Jakarta. Seperti menghabiskan umur di jalan, kata orang. Menyusuri dua titik tempat liputan aja bisa menghabiskan waktu kerja nine to five. Pergi pagi buta, untuk akhirnya pulang dengan berdesak-desakan di atas busway. Yang didapat hanya capek. Nominal gaji tak akan pernah sebanding dengan cucuran keringat demi mendapatkan berita untuk disiarkan seaktual mungkin ke layar televisi. Informasi yang dinamis, berjalan terus. Mereka dituntut untuk melengkapi kebutuhan masyarakat, juga oleh rating dan share.

Menjadi reporter, video journalist, atau bahkan campers sekalipun, dengan sehari bekerja rasanya sudah seribu cerita yang bisa dibawa pulang. Terlalu banyak hal yang dilewati. Bertemu dengan para pejabat penting terkait perkara korupsi atau bahkan mewawancarai sejumlah warga di wilayah banjir rasanya bukan lagi (seharusnya) menjadi santapan baru. Mempersiapkan diri dengan sejumlah pertanyaan yang masuk akal agar tidak di-bully pengguna Twitter sepertinya turut menjadi salah satu hal yang dikategorikan penting. Melihat begitu seringnya reporter mengajukan pertanyaan "Bagaimana perasaan ibu?" kepada korban bencana alam yang kondisinya sudah terpampang jelas di layar televisi. Atau belum lagi jika harus berdesak-desakan saat wawancara door stop di depan gedung DPR dengan sejumlah pertanyaan yang mungkin belum tentu akan dijawab oleh sang narasumber karena rebutan suara dengan reporter lain. Ngga kebayang gimana perjuangannya.

Bekerja di televisi di era ini seperti tak beda dengan bekerja di dunia musik. Bekerja untuk memuaskan masyarakat, katanya. Masyarakat yang entah mana segmentasi yang dimaksud. Para pekerja televisi saat ini menjadikan rating sebagai pedoman, bukan lagi needs and wants. Bagaimana bisa mereka berjalan hanya dengan pedoman rating. Bukankah seharusnya kembali ke makna dan tujuan dari menghasilkan karya tersebut? Apakah sebagai wadah 'jual-beli' atau hal lain yang berkaitan dengan sisi humanis antar manusia. Meskipun sebenarnya terdengar naif jika harus mengiyakan si pilihan ke-2, namun memang fungsi utama televisi saat ini sudah disalahgunakan.

"Yakin masih mau bekerja di televisi? Kerjanya berat, melakukan sesuatu yang kontradiktif dengan diri sendiri, yang didapat cuman capek, ngga sebanding..." menjadi pertanyaan ter-mengesalkan yang keluar dari beliau. Gimana ngga? Bagiku itu adalah pekerjaan impian.

Namun ternyata belum selesai. Pertanyaan tadi justru condong ke sudut pandang lain yang lebih realistis,

Rencana:
: "Setelah kuliah, melamar kerja."
W: "Iya kalau ada lowongan, kalau ngga?"
: "Kalau ada lowongan, yaa diikutin tesnya."
W: "Iya kalau lolos, kalau ngga?"
: "Kalau belum lolos, coba lagi yang lain."
W: "Iya kalau ada lowongan lagi, kalau nganggur?"
: "....."
W: "Jaman sekarang udah ngga ada lagi orang yang cari berita lewat nonton televisi. Lapangan kerja kalian ini udah hampir ngga akan ada lagi. Semua mata manusia udah disedot sama internet. Semua orang rela ngga makan demi akses internet. Televisi-televisi besar bahkan udah membumbui jaringan streaming televisi internet. Mereka akan mulai mencari orang-orang yang punya kemampuan kerja sekencang internet. Bukan sekedar orang-orang bergelar master. UGM setiap setengah tahun meluluskan ratusan mahasiswa. Itu hanya mahasiswa Ilmu Komunikasi, belum mahasiswa jurusan lain yang juga berminat masuk ke dunia televisi. Belum selesai di situ, kalian juga harus berkompetisi dengan mahasiswa dari kota lain di seluruh Indonesia. Coba hitung berapa banyak? Lalu apa yang akan kalian pertaruhkan sebagai mahasiswa lulusan D-IV Broadcasting?

...SKILL."

Awalnya sih pesimis sama statement di atas, kalau aku ngga akan bisa lolos di kompetisi televisi. Skill yang dimiliki oleh seorang mahasiswi pemberitaan seperti aku ini minimal hanyalah menulis naskah dan reportase, dimana sepertinya orang lain tanpa basic-pun bisa melakukannya.

Namun kemudian aku berpikir lagi, untuk seharusnya ngga boleh terlalu pesimis dan menyepelekan hidup. Ngga boleh terlalu sering ngucap pasrah sama apa yang dipunya dan terlalu ter-mindset dengan kata "lihat nanti" tanpa mau mencoba dulu. Siapa tau kalau besok mati? Siapa tau kalau besok ngga punya kesempatan lagi karena udah terlalu tua sampai lupa sama mau di masa muda? 

Jika sekarang baru tersadar bahwa kita (aku, dan kamu yang lagi membaca ini) belum punya apa-apa, udah waktunya kita ngegali apa yang sebenarnya kita punya. Sekarang. Talenta, skill, kelebihan, apapun untuk bertahan hidup. Seperti pengamen yang hanya bermodalkan gitar dan suara. Meskipun lebay tapi rasanya benar. Dengan begitu, kita ngga akan kalah jika harus berkompetisi dengan orang lain, bahkan jika harus berkompetisi dengan zaman. Apalagi jika kita emang benar-benar ngebet sama mimpi untuk berada di satu titik yang kita mau. Menjadi sesuatu. Menjadi seseorang yang diingat oleh orang lain.



















Untuk hidup yang berjalan terus dan tidak berpasrah diri sama keadaan.
Untuk tidak menjadi tua dengan penyesalan.
Untuk tidak ketinggalan di belakang.
Untuk tidak menjadi orang-orang kerdil.




HM